0
Home  ›  Properti

Lesunya Penjualan Properti di Bawah 1 Miliar di Tahun Ini

Pasar properti Indonesia menghadapi tantangan signifikan pada pertengahan 2025, dengan penjualan properti di segmen di bawah 1 miliar rupiah menunjukkan perlambatan yang mencolok. Meskipun segmen ini secara historis menjadi primadona karena tingginya minat dari end user atau pembeli langsung, kondisi terkini menggambarkan tren yang mengkhawatirkan.

Data dari Bank Indonesia pada triwulan I 2025 menunjukkan penjualan properti residensial secara keseluruhan tumbuh terbatas sebesar 0,73% (yoy), setelah sebelumnya mengalami kontraksi sebesar 15,09% pada triwulan IV 2024. Menariknya, rumah tipe kecil justru mengalami pertumbuhan signifikan sebesar 21,75% (yoy) pada triwulan I 2025, setelah terkontraksi 23,70% pada periode sebelumnya. Namun, pertumbuhan ini belum merata di semua segmen. Penjualan rumah tipe menengah dan besar masih mengalami tekanan dengan kontraksi masing-masing sebesar 35,76% dan 11,69% (yoy). Fenomena ini mencerminkan pergeseran preferensi konsumen terhadap hunian yang lebih terjangkau di tengah tekanan ekonomi.

Meskipun demikian, ada optimisme untuk pertumbuhan sektor properti secara keseluruhan pada tahun 2025, dengan proyeksi hingga 2,2%-2,3%. Pemerintah telah berupaya merangsang pasar melalui program seperti perpanjangan insentif Pajak Pertambahan Nilai Ditanggung Pemerintah (PPN DTP) 100% hingga Juni 2025 untuk rumah di bawah 2 miliar rupiah, serta alokasi Fasilitas Likuiditas Pembiayaan Perumahan (FLPP) untuk Masyarakat Berpenghasilan Rendah (MBR) yang diproyeksikan mencapai 250.000-350.000 unit pada 2025, dengan tambahan alokasi Kredit Pemilikan Rumah (KPR) Bersubsidi sebesar 800.000 unit. Namun, di lapangan, properti di bawah 1 miliar rupiah, khususnya rumah tapak untuk kelas menengah ke bawah, masih sulit terjual.

Kondisi Penjualan Properti Tahun Ini

Data Pendukung dan Pandangan Para Ahli

Data Statistik Penjualan

Penurunan penjualan properti di Indonesia, khususnya di segmen bawah 1 miliar rupiah, mencapai angka yang mengkhawatirkan. Data menunjukkan penjualan rumah tapak di Jabodetabek turun 25% dibandingkan tahun 2023, dengan total penjualan pada 2024 diperkirakan hanya mencapai 10.000-11.000 unit dari target 14.000 unit. Sementara itu, penjualan properti berbasis TOD (Transit Oriented Development) menurun drastis hingga 30-40%.

Indeks Harga Properti Perumahan (IHPP) pada kuartal keempat 2024 meningkat menjadi 109,65 poin. Namun, pertumbuhan ini belum cukup untuk mengangkat penjualan properti di segmen menengah ke bawah. Data dari Kementerian Investasi dan Hilirisasi/Badan Koordinasi Penanaman Modal (BKPM) menunjukkan bahwa investasi di sektor properti pada 2024 mencapai Rp 122,9 triliun, dengan mayoritas berasal dari penanaman modal dalam negeri (PMDN). Namun, distribusi investasi ini lebih banyak di segmen atas, bukan di bawah 1 miliar rupiah, menunjukkan kurangnya fokus pada segmen ini.

Pandangan Ahli Properti

Para pengamat properti memiliki pandangan beragam namun cenderung sejalan. Panangian Simanungkalit, pengamat bisnis properti, menegaskan bahwa pasar yang masih prospektif saat ini adalah rumah dan apartemen di bawah 1 miliar rupiah. Ia mengidentifikasi tiga klaster utama yang masih memiliki daya serap: rumah seharga 150 juta rupiah dengan skema subsidi FLPP, rumah 350-500 juta rupiah untuk kelas menengah perkotaan, dan rumah 500 juta hingga 1 miliar rupiah untuk segmen menengah atas.

Tommy Bastamy, pengamat properti lainnya, melihat prospek penjualan properti di bawah 1 miliar rupiah masih cukup baik karena permintaan dari real demand masih banyak di segmen harga tersebut. Ilham Muhammad Nur, Ketua DPD REI DIY, menambahkan bahwa klaster yang paling terpengaruh kenaikan suku bunga justru adalah kelas menengah dengan harga 500 juta hingga 1 miliar rupiah. M. Gali Ade Nofrans dari Stellar Property memprediksi bahwa sektor properti akan stabil pada 2025 dengan potensi pertumbuhan hingga 2,2%-2,3%, didorong oleh regulasi baru dan insentif pemerintah, seperti program 3 juta rumah. Namun, Hans Kwee, Co Founder Pasardana, memperingatkan bahwa melemahnya daya beli masyarakat diprediksi membuat kinerja penjualan industri properti tidak akan bisa tumbuh tinggi, meskipun pemerintah memberikan berbagai insentif.

Penyebab Utama Lesunya Penjualan

Lesunya penjualan properti di bawah 1 miliar rupiah disebabkan oleh kombinasi beberapa faktor:

  • Dampak Pinjaman Online (Pinjol): Salah satu faktor yang paling mengejutkan adalah dampak negatif pinjaman online terhadap sektor properti. Banyaknya masyarakat yang mengambil pinjol berakibat penjualan rumah menurun secara signifikan. Riwayat pinjol menyebabkan SLIK OJK calon nasabah dilihat tidak sehat sehingga pengajuan KPR ditolak.
  • Faktor Ekonomi Makro: Ketidakpastian ekonomi global dan domestik, inflasi yang tinggi, dan fluktuasi nilai tukar mata uang menciptakan ketegangan di pasar domestik. Gelombang pemutusan hubungan kerja (PHK) juga memperburuk situasi, menurunkan daya beli masyarakat. Kebijakan moneter yang lebih ketat, seperti peningkatan suku bunga oleh Bank Indonesia, turut mempengaruhi biaya pinjaman dan membuat bunga KPR lebih tinggi.
  • Kenaikan Biaya Konstruksi: Kenaikan harga bahan bangunan menjadi hambatan utama dalam pengembangan dan penjualan properti residensial. Hasil survei Bank Indonesia menunjukkan kenaikan harga bangunan menjadi faktor penghambat utama, diikuti masalah perizinan dan suku bunga KPR.
  • Masalah Kepercayaan Konsumen: Rendahnya kepercayaan masyarakat terhadap pelaku industri menjadi salah satu faktor lesunya pasar. Maraknya developer nakal yang terjadi beberapa tahun belakangan, termasuk kasus gagal bangun dan penjualan properti tanpa legalitas lengkap, membuat masyarakat takut membeli rumah.
  • Perubahan Preferensi Generasi Muda: Generasi milenial dan Gen Z cenderung lebih memilih fleksibilitas dan pengalaman dibandingkan kepemilikan aset fisik seperti properti. Survei menunjukkan sebagian besar responden Gen Z lebih memilih menyewa properti dibandingkan membeli.
  • Jenuhnya Pembeli Kelas Atas dan Kurangnya Daya Beli Kelas Bawah: Pembeli kelas atas cenderung jenuh setelah berinvestasi berlebihan pada 2021-2023, sementara kelas menengah ke bawah semakin sulit membeli rumah, bahkan dengan KPR berbiaya rendah.
  • Kebijakan Pemerintah yang Kurang Jelas: Ketidakjelasan kebijakan pemerintah, seperti perubahan regulasi atau insentif, juga memperlambat penjualan. Meskipun ada program seperti FLPP dan KPR Bersubsidi, implementasinya belum sepenuhnya optimal, yang memengaruhi kepercayaan pasar.

Solusi yang Diharapkan

Untuk mengatasi lesunya penjualan properti di bawah 1 miliar rupiah, diperlukan pendekatan komprehensif dari berbagai pihak:

1. Reformasi Regulasi dan Kebijakan

  • Penyederhanaan Perizinan: Diperlukan reformasi regulasi dan perizinan untuk mempercepat pengembangan properti dan meningkatkan kepercayaan investor. Transparansi dalam regulasi dapat membantu mengurangi hambatan birokrasi yang selama ini menghambat pengembangan.
  • Relaksasi Kebijakan Pembiayaan: Penyesuaian kebijakan Loan to Value (LTV) dan penurunan suku bunga KPR dapat meningkatkan aksesibilitas pembiayaan bagi konsumen. Para ekonom menyarankan melonggarkan ketentuan kredit bagi masyarakat berpenghasilan rendah.

2. Insentif Pemerintah

  • Perpanjangan Program PPN DTP: Perpanjangan program PPN DTP hingga 2025 diharapkan dapat meningkatkan pembelian rumah di bawah 2 miliar rupiah. Program serupa tahun lalu terbukti mendorong peningkatan signifikan.
  • Program 3 Juta Rumah: Program ini diharapkan dapat selaras dengan permintaan rumah sederhana yang melonjak di berbagai daerah. Alokasi FLPP dan KPR Bersubsidi perlu ditingkatkan dan diperluas.
  • Stimulus Ekonomi: Penurunan suku bunga acuan atau stimulus ekonomi lainnya dapat meningkatkan daya beli masyarakat. Selain itu, pemerintah dapat memberikan insentif khusus untuk pengembang yang fokus pada segmen menengah ke bawah, seperti pembebasan pajak atau bantuan pembiayaan.

3. Inovasi Strategi Pengembang

  • Diversifikasi Produk: Pengembang diminta melakukan inovasi sesuai segmennya, mulai dari harga hingga kualitas yang baik. Pentingnya tanggung jawab pengembang yang dibutuhkan masyarakat harus menjadi prioritas.
  • Strategi Pemasaran Digital: Pemanfaatan media sosial, optimalisasi SEO, penggunaan foto dan video berkualitas tinggi, serta teknologi Virtual Reality dapat membantu meningkatkan penjualan. Email marketing dan iklan digital juga menjadi strategi efektif untuk menjangkau calon pembeli.
  • Kemudahan Pembayaran: Pengembang perlu menawarkan skema pembayaran dan cicilan yang menarik, seperti DP ringan, DP cicil, dan cicilan jangka panjang. Dengan skema pembayaran yang ringan, generasi Z di perkotaan dapat memiliki rumah dengan rentang harga 300-600 juta rupiah per unit.
  • Inovasi Produk Properti: Pengembang perlu menawarkan produk yang lebih inovatif dan terjangkau, seperti rumah minimalis dengan harga di bawah 500 juta rupiah, yang tetap memenuhi standar kualitas tinggi.

4. Pendekatan Komprehensif Jangka Panjang

Diperlukan kebijakan yang lebih terpadu antara fiskal dan moneter untuk menjaga momentum pertumbuhan sektor properti. Kerjasama antara pemerintah, bank, dan pengembang properti harus diperkuat untuk memastikan kebutuhan masyarakat terpenuhi. Program pendukung seperti pelatihan keterampilan bagi masyarakat untuk meningkatkan pendapatan juga sangat membantu dalam jangka panjang, memungkinkan masyarakat memiliki daya beli yang lebih baik sehingga efek kebijakan perumahan akan lebih terasa dan berkelanjutan.

5. Solusi Berbasis Prinsip Syariah

Bagi masyarakat yang mencari alternatif pembiayaan rumah yang sesuai dengan prinsip-prinsip Islam, ada beberapa pertimbangan penting:

  • Cek dan Ricek Kemampuan: Sebelum memutuskan membeli rumah, pastikan kemampuan finansial dalam membayar uang muka (DP) dan cicilan bulanan sudah benar-benar terukur dan berkelanjutan, sesuai dengan batas kemampuan pribadi agar tidak terjebak dalam kesulitan di kemudian hari.
  • Hindari Transaksi Mengandung Riba: Pastikan transaksi pembelian rumah, baik KPR konvensional, subsidi, atau skema lain, bebas dari unsur riba. Riba dalam bentuk bunga, denda keterlambatan, dan lain-lain sangat dilarang dalam Islam. Oleh karena itu, penting untuk meneliti akad dan struktur pembiayaan secara mendalam.
  • Pilih Skema Pembiayaan Syariah Tanpa Bank: Jika dirasa mampu dengan uang muka dan cicilan yang ada, pilihlah skema pembiayaan properti syariah tanpa melibatkan bank konvensional. Skema ini umumnya dikenal sebagai KPR Syariah Developer Langsung atau sejenisnya. Dalam skema ini, biasanya tidak ada kenaikan harga/cicilan karena pengaruh naik turunnya suku bunga BI, kondisi ekonomi, atau fluktuasi pasar. Selain itu, skema ini umumnya tidak memberlakukan denda, sita properti, atau kewajiban asuransi yang bertentangan dengan prinsip syariah. Skema ini mengedepankan prinsip jual beli murabahah atau sewa beli musyarakah mutanaqisah yang transparan dan tetap hingga lunas.

Mau mendapatkan properti dengan skema syariah? Hubungi Kami

Chat Kami Sekarang

Kesimpulan Kondisi Pasar Properti

Lesunya penjualan properti di bawah 1 miliar rupiah di Indonesia pada 2025 merupakan cerminan dari tantangan ekonomi yang lebih luas, seperti perlambatan ekonomi, suku bunga tinggi, dan pelemahan daya beli. Namun, ada harapan dengan adanya program pemerintah yang agresif, seperti pembangunan 3 juta rumah dan insentif pajak, yang dapat merangsang permintaan. Kolaborasi antara pemerintah dan pengembang, serta inovasi dalam produk properti, akan menjadi kunci untuk memulihkan pasar properti di segmen ini. Selain itu, solusi yang berlandaskan prinsip syariah juga dapat menjadi pilihan yang menarik dan menenangkan bagi sebagian masyarakat yang ingin menghindari riba dan mencari kepastian dalam transaksi properti. Meskipun tantangan masih ada, optimisme tetap tinggi dengan dukungan kebijakan yang tepat dan pilihan pembiayaan yang beragam.

Posting Komentar
Additional JS